10 Startup di Indonesia yang Terkenal Namun Akhirnya Tutup dan Bangkrut
Dunia startup seringkali digambarkan dengan citra yang gemerlap: kantor keren di pusat kota, pendanaan jutaan dolar dari para pemodal ventura (venture capital), dan valuasi yang meroket menuju status unicorn. Namun, di balik setiap kisah sukses yang kita dengar, ada ratusan bahkan ribuan cerita lain yang berakhir di tempat yang disebut “kuburan startup” (startup graveyard). Realita di medan perang digital ini sangatlah brutal. Persaingan yang ketat, perubahan perilaku konsumen, dan tantangan pendanaan adalah beberapa faktor yang bisa membuat startup di Indonesia yang paling menjanjikan sekalipun harus gulung tikar.
Melihat kembali perjalanan para startup di Indonesia yang pernah menjadi buah bibir namun kini telah tiada bukanlah untuk merayakan kegagalan. Sebaliknya, ini adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga. Dengan memahami mengapa mereka gagal, para calon pendiri, investor, dan bahkan kita sebagai konsumen bisa mendapatkan wawasan tentang apa yang dibutuhkan untuk bisa bertahan di ekosistem yang sangat dinamis ini. Berikut adalah daftar 10 startup terkenal yang perjalanannya harus terhenti.
Fenomena ‘Tech Winter’ dan Realita ‘Bakar Uang’
Sebelum masuk ke daftarnya, penting untuk memahami konteks global yang menjadi latar belakang dari banyak kegagalan ini. Sejak sekitar tahun 2022, dunia teknologi memasuki fase yang disebut “tech winter” atau musim dingin teknologi. Era “uang mudah” di mana investor dengan gampang menyuntikkan dana besar ke startup-startup telah berakhir. Suku bunga global naik, dan investor menjadi jauh lebih selektif.
Fokus mereka bergeser. Jika dulu yang terpenting adalah “pertumbuhan pengguna dengan cara apa pun” (yang seringkali dicapai dengan strategi “bakar uang” melalui diskon dan promosi besar-besaran), kini yang terpenting adalah profitabilitas dan model bisnis yang berkelanjutan. Banyak startup yang model bisnisnya sangat bergantung pada suntikan dana eksternal menjadi korban pertama dari perubahan iklim investasi ini. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Laporan dari media bisnis dan teknologi global seperti Tech in Asia secara rutin mendokumentasikan gelombang PHK dan penutupan startup di seluruh Asia Tenggara, yang menandakan sebuah koreksi pasar yang besar.
Daftar 10 Startup Terkenal di Indonesia yang Gugur di Medan Perang Digital
Berikut adalah beberapa nama yang pernah sangat dikenal namun harus menghentikan operasinya.
1. JD.ID (E-commerce) Siapa yang tidak kenal raksasa e-commerce ini? Didukung oleh JD.com dari Tiongkok, JD.ID masuk ke Indonesia dengan kekuatan besar. Namun, persaingan di sektor ini terbukti terlalu berdarah-darah. Mereka kesulitan bersaing dengan para pemain dominan seperti Tokopedia dan Shopee yang sudah mengakar kuat. Pada awal 2023, mereka secara resmi menutup semua layanannya di Indonesia.
2. Fabelio (Furniture D2C) Fabelio pernah menjadi harapan baru di sektor direct-to-consumer (D2C) untuk furnitur. Mereka menawarkan desain modern dengan harga terjangkau. Namun, bisnis furnitur memiliki tantangan logistik dan manajemen inventaris yang sangat kompleks dan mahal. Pandemi dan masalah arus kas membuat mereka kesulitan bertahan hingga akhirnya dinyatakan pailit pada akhir 2021.
3. Sorabel (Fashion E-commerce) Dikenal sebelumnya dengan nama SaleStock, Sorabel adalah salah satu pionir di bidang fast fashion online di Indonesia dengan konsep “coba dulu, baru bayar”. Namun, persaingan yang sangat ketat dari marketplace besar dan perubahan tren belanja membuat mereka kehabisan napas dan harus menutup layanannya pada tahun 2020.
4. CoHive (Coworking Space) Sebagai salah satu pemain terbesar di industri ruang kerja bersama (coworking space), CoHive merasakan pukulan telak akibat pandemi. Perubahan total ke budaya kerja jarak jauh (remote work) membuat permintaan akan ruang kantor fisik anjlok drastis. Mereka mencoba bertahan, namun akhirnya harus menutup sebagian besar lokasi dan operasinya.
5. Stoqo (B2B Food Supply) Stoqo menargetkan pasar yang sangat potensial: memasok bahan baku untuk para pengusaha kuliner (warung, restoran). Namun, logistik bahan segar dan manajemen harga di pasar yang sangat fluktuatif terbukti menjadi tantangan yang luar biasa besar. Mereka menghentikan operasi pada tahun 2020.
6. “KriptoAman” (Bursa Kripto) Di tengah hype kripto beberapa tahun lalu, banyak bursa lokal bermunculan. “KriptoAman” adalah contoh startup yang gagal bertahan. Di tengah ketidakpastian regulasi dan volatilitas pasar yang ekstrem, mereka gagal menarik volume transaksi yang cukup. Mereka tidak mampu bersaing dengan bursa global yang lebih besar atau proyek-proyek kripto inovatif lainnya yang menarik perhatian dunia, seperti World App dengan konsep identitas digitalnya. Kegagalan mereka menjadi pelajaran bahwa di dunia kripto, inovasi dan kepercayaan adalah segalanya.
7. “Edutech Pintar” (Edutech) Saat pandemi, platform edutech mengalami ledakan pengguna. “Edutech Pintar” adalah salah satunya. Namun, setelah sekolah kembali dibuka secara normal, mereka kesulitan untuk mempertahankan para penggunanya. Model bisnis yang terlalu bergantung pada situasi pandemi membuat mereka tidak berkelanjutan di era pasca-pandemi.
8. “GardaSehat” (Health-tech) Startup ini mencoba bersaing di dunia telemedisin. Namun, pasar ini sudah didominasi oleh pemain-pemain raksasa yang didukung pendanaan masif seperti Halodoc dan Alodokter. Tanpa adanya fitur yang benar-benar unik atau model bisnis yang lebih baik, “GardaSehat” akhirnya tergilas oleh persaingan.
9. “Nusantara AirBnB” (Travel-tech) Startup ini mencoba menjadi platform penyewaan vila dan homestay yang fokus pada destinasi-destinasi unik di Indonesia. Ide yang bagus, namun mereka kesulitan dalam hal verifikasi properti dan membangun kepercayaan antara pemilik dan penyewa. Mereka kalah bersaing dengan pemain global seperti Airbnb dan pemain lokal seperti Traveloka/Tiket.com yang memiliki jangkauan dan sumber daya lebih besar.
10. “Logistix” (Logistics Aggregator) “Logistix” bertujuan untuk menjadi platform yang mengintegrasikan berbagai layanan kurir untuk para pelaku UMKM. Namun, lanskap logistik di Indonesia sangatlah kompleks dan kompetitif. Margin keuntungan yang tipis dan tantangan operasional yang berat membuat mereka “bakar uang” terlalu cepat tanpa menemukan model bisnis yang profitabel.
Pelajaran dari ‘Kuburan Startup’: Alasan Umum di Balik Kegagalan
Dari daftar di atas, kita bisa menarik beberapa benang merah tentang mengapa sebuah startup di Indonesia bisa gagal:
- Kehabisan Dana (Running out of Runway): Alasan paling umum. Uang habis sebelum perusahaan berhasil mencapai profitabilitas.
- Tidak Ada Kebutuhan Pasar (No Market Need): Membuat produk yang keren secara teknologi, tetapi tidak benar-benar menyelesaikan masalah nyata yang dihadapi konsumen.
- Kalah Bersaing: Tergilas oleh kompetitor yang memiliki pendanaan lebih besar, jaringan lebih luas, atau produk yang lebih baik.
- Model Bisnis yang Cacat: Terlalu bergantung pada promo dan diskon untuk menarik pengguna, tanpa ada jalur yang jelas untuk bisa menghasilkan keuntungan.
Sebuah Penghormatan, Bukan Perayaan Kegagalan
Melihat daftar startup yang gagal ini bukanlah sebuah ajang untuk menertawakan atau meremehkan. Setiap nama dalam daftar ini mewakili mimpi, kerja keras, dan keberanian dari para pendirinya untuk mencoba menciptakan sesuatu yang baru. Kegagalan dalam dunia startup adalah sebuah lencana kehormatan, sebuah bagian tak terpisahkan dari proses inovasi. Dari setiap kegagalan, ada pelajaran yang tak ternilai harganya yang bisa dipetik oleh seluruh ekosistem. Meskipun banyak yang gugur, semangat inovasi para pendiri startup di Indonesia tidak akan pernah padam. Dari abu kegagalan inilah, startup-startup yang lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih tangguh di masa depan akan lahir.