Home > Berita Viral > Ironi Kecerdasan Buatan: Buku Dirusak untuk Latih AI

Ironi Kecerdasan Buatan: Buku Dirusak untuk Latih AI

///
Comments are Off

Ironi Kecerdasan Buatan: Jutaan Buku Hancur Demi ‘Melahirkan’ AI

Di salah satu sudut dunia digital yang paling canggih, sebuah proses paradoks sedang berlangsung. Bayangkan sebuah mesin raksasa dengan telaten memindai halaman demi halaman dari ribuan buku—beberapa di antaranya mungkin rapuh dan berusia ratusan tahun. Tujuannya mulia: menyerap semua pengetahuan, cerita, dan kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya untuk “mengajari” sebuah kecerdasan buatan (AI) agar menjadi semakin pintar. Namun, setelah sari patinya dihisap, nasib buku fisik itu seringkali tak menentu, dan hak cipta penulisnya diabaikan. Inilah ironi kecerdasan buatan yang paling tajam di era kita.

Dalam ambisi kita untuk menciptakan sebuah entitas dengan kecerdasan super, kita justru menjadikan warisan intelektual terbesar peradaban manusia—buku—sebagai bahan bakar mentah yang bisa dieksploitasi. Wadah pengetahuan yang selama berabad-abad kita junjung tinggi kini diperlakukan layaknya tambang data. Kita merusak, baik secara fisik maupun etis, fondasi pengetahuan masa lalu untuk membangun sebuah “katedral” pengetahuan sintetis di masa depan. Pertanyaannya, apakah harga yang harus kita bayar untuk kemajuan ini sepadan? Dan apa yang sesungguhnya hilang ketika sebuah buku tidak lagi dilihat sebagai karya, melainkan hanya sebagai kumpulan data?

 

Paradoks di Era Digital Ironi Kecerdasan Buatan: Menghancurkan Pengetahuan Fisik demi Pengetahuan Sintetis

Paradoks ini terletak pada konflik antara preservasi dan progresi. Di satu sisi, kita selalu diajarkan untuk menghormati buku sebagai sumber ilmu dan jendela dunia. Perpustakaan dibangun sebagai kuil untuk melindungi dan melestarikan artefak berharga ini. Namun, di sisi lain, laju inovasi teknologi menuntut data dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Model bahasa besar (Large Language Models atau LLM) yang menjadi otak di balik ChatGPT dan AI generatif lainnya “lapar” akan teks. Semakin banyak data yang mereka “makan”, semakin cerdas dan manusiawi respons mereka. Dan sumber data teks berkualitas tinggi yang paling melimpah di dunia adalah buku.

Proses “penghancuran” ini terjadi dalam dua bentuk. Pertama, penghancuran secara harfiah. Dalam proyek digitalisasi massal, terutama yang melibatkan buku-buku lama dan tidak lagi dicetak, proses pemindaian terkadang dilakukan dengan cara yang merusak. Halaman-halaman dilepas dari jilidannya untuk mempercepat proses, mengorbankan keutuhan fisik buku demi efisiensi ekstraksi data. Kedua, dan yang lebih luas dampaknya, adalah penghancuran secara metaforis dan etis. Dengan menyalin dan menggunakan isi buku tanpa izin atau kompensasi, perusahaan teknologi secara efektif “menghancurkan” hak cipta dan kerja keras para penulis. Karya yang lahir dari keringat dan pemikiran bertahun-tahun direduksi menjadi sekadar input untuk melatih sebuah algoritma komersial.

 

Proses di Balik Layar: Bagaimana Buku Fisik Diubah Menjadi Data AI?

Bagaimana sebenarnya sebuah novel karya sastra atau buku teks ilmiah diubah menjadi sesuatu yang bisa “dipahami” oleh mesin? Prosesnya dimulai dengan digitalisasi. Jutaan buku dipindai halaman per halaman, kemudian teknologi Optical Character Recognition (OCR) digunakan untuk mengubah gambar halaman tersebut menjadi teks digital yang bisa diolah. Proses ini penuh tantangan, terutama untuk buku-buku tua dengan jenis huruf yang tidak standar atau kertas yang sudah menguning.

Setelah menjadi teks digital, data tersebut akan melalui proses “pembersihan”. Semua format aneh, nomor halaman, atau catatan kaki yang tidak relevan akan dihapus. Teks yang bersih ini kemudian dipecah menjadi unit-unit kecil yang disebut “token”—bisa berupa kata, bagian dari kata, atau tanda baca. Token inilah yang menjadi “makanan” bagi AI. Model AI kemudian menganalisis hubungan statistik antara miliaran token ini. Ia belajar tentang tata bahasa, sinonim, konteks, fakta, gaya penulisan, dan bahkan bias yang terkandung dalam teks tersebut. Dengan “membaca” karya Shakespeare, Hemingway, hingga J.K. Rowling, AI belajar meniru pola bahasa manusia. Pada dasarnya, seluruh perpustakaan dunia sedang di-distilasi menjadi sebuah jaringan syaraf tiruan raksasa.

 

Debat Etis dan Hak Cipta: ‘Mencuri’ Karya untuk ‘Mengajari’ Mesin

Di sinilah letak jantung perdebatan yang paling sengit. Para penulis, seniman, dan kreator konten berargumen bahwa penggunaan karya mereka yang berhak cipta untuk melatih AI komersial adalah bentuk pencurian massal. Mereka tidak pernah memberikan izin, apalagi menerima kompensasi, atas penggunaan karya intelektual mereka. Perusahaan teknologi AI, di sisi lain, seringkali berlindung di balik doktrin “penggunaan wajar” (fair use). Mereka berdalih bahwa proses ini bersifat “transformatif”—AI tidak menyalin buku kata per kata, melainkan “belajar” darinya untuk menciptakan sesuatu yang baru, mirip seperti cara manusia belajar dengan membaca banyak buku.

Namun, argumen ini semakin goyah. Para penulis balik bertanya, bagaimana bisa disebut “wajar” jika produk yang dihasilkan (AI) nantinya bisa bersaing langsung dengan mereka? AI bisa menulis artikel, skenario film, bahkan novel, yang berpotensi mengurangi nilai dan lapangan pekerjaan bagi para penulis manusia. Debat sengit ini telah berujung pada gugatan hukum besar-besaran di seluruh dunia. Laporan mendalam dari media internasional seperti The New York Times telah secara ekstensif meliput gugatan hukum yang dilayangkan para penulis ternama terhadap perusahaan-perusahaan AI, menyoroti perseteruan fundamental antara kecepatan inovasi teknologi dan perlindungan hak kekayaan intelektual.

 

Pedang Bermata Dua: Saat Pengetahuan AI Digunakan untuk Kebaikan dan Kejahatan

Ironi kecerdasan buatan tidak berhenti pada proses pelatihannya. Ia berlanjut pada bagaimana “kecerdasan” hasil serapan buku-buku tersebut digunakan. Di satu sisi, AI yang terlatih dengan baik memiliki potensi luar biasa untuk kebaikan. Ia bisa membantu ilmuwan menganalisis data penelitian medis dalam hitungan detik, membantu siswa memahami konsep yang sulit, atau menjadi alat bantu bagi para kreator untuk menghasilkan karya baru. Pengetahuan yang terkunci dalam jutaan buku kini bisa diakses dan diolah dengan cara-cara baru yang revolusioner.

Namun, di sisi lain, pedang ini memiliki mata yang sangat tajam. Pengetahuan yang sama tentang bahasa, psikologi, dan retorika manusia yang diserap dari karya-karya terbaik peradaban, dapat disalahgunakan untuk tujuan yang sangat merusak. Salah satu contoh paling nyata adalah evolusi ancaman teknologi deepfake. Kemampuan AI untuk meniru gaya bahasa dan suara manusia dengan sempurna digunakan untuk menciptakan penipuan yang sangat meyakinkan, menyebarkan disinformasi yang memecah belah, dan melakukan pelecehan digital. AI belajar menulis seperti seorang novelis andal, lalu menggunakan kemampuan itu untuk menulis email phishing yang mampu mengelabui korban paling waspada sekalipun.

 

Lebih dari Sekadar Teks: Apa yang Hilang Saat Buku ‘Dihancurkan’?

Saat sebuah buku direduksi menjadi sekadar kumpulan data, ada banyak hal tak kasat mata yang hilang dalam prosesnya. Yang pertama adalah nilai buku sebagai artefak fisik dan budaya. Sensasi memegang buku, merasakan tekstur kertasnya, mencium aroma khasnya, dan melihat desain sampulnya adalah sebuah pengalaman multisensori yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh teks di layar. Buku adalah objek yang memiliki sejarah, seringkali diwariskan dari generasi ke generasi.

Kedua, yang hilang adalah konteks. AI belajar dari “sup” teks raksasa, seringkali tanpa memahami struktur naratif utuh atau konteks historis dan budaya di mana sebuah karya diciptakan. Ia mungkin bisa meniru gaya Pramoedya Ananta Toer, tetapi ia tidak akan pernah “memahami” penderitaan dan perjuangan yang melatarbelakangi tulisan tersebut. Pengetahuan yang didapat AI adalah pengetahuan yang dangkal, terlepas dari kerumitannya. Ia tahu “apa” tapi tidak pernah tahu “mengapa”. Yang terakhir dan yang paling penting, yang hilang adalah elemen kemanusiaan itu sendiri. Proses ini memperlakukan hasil pemikiran, imajinasi, dan emosi seorang penulis selama bertahun-tahun sebagai tidak lebih dari sekadar data mentah untuk konsumsi mesin.

 

Ironi Kecerdasan Buatan: Fakta Miris yang Tak Terelakkan

Kita kini berada di persimpangan jalan yang menentukan. Ironi kecerdasan buatan menghadapkan kita pada sebuah pilihan fundamental: sejauh mana kita bersedia mengorbankan warisan intelektual dan nilai-nilai kemanusiaan kita demi mengejar kemajuan teknologi? Perlombaan untuk menciptakan AI yang paling kuat terus berlanjut dengan kecepatan penuh, namun bahan bakarnya adalah jiwa dari peradaban kita. Mungkin, ujian sejati dari kecerdasan kita bukanlah apakah kita mampu menciptakan AI yang super pintar, melainkan apakah kita mampu melakukannya dengan diiringi kebijaksanaan, rasa hormat, dan kesadaran etis. Jika tidak, kita berisiko membangun sebuah masa depan yang sangat cerdas, namun telah kehilangan jiwanya di tengah jalan.

You may also like
Pentingnya Restart HP dan Seberapa Sering Idealnya Dilakukan
Fitur SMS Gratis di Android, Kini Canggih Mirip WhatsApp!
Ancaman Teknologi Deepfake dan Cara Mengenali Konten Palsu
Indonesia Negara Pengguna Smartphone Terbanyak ke-5 Dunia