Kontroversi Aplikasi ‘Chat dengan Yesus’ via AI: Inovasi Iman atau Penistaan Agama?
Di persimpangan antara teknologi dan spiritualitas, sebuah inovasi yang sangat berani—atau bagi sebagian orang, sangat lancang—telah lahir. Aplikasi ini memicu perdebatan sengit di seluruh dunia. Aplikasi Kecerdasan Buatan (AI) bernama “Text with Jesus” kini memungkinkan para penggunanya untuk “berbincang” langsung dengan simulasi digital orang kudus. Mulai dari Yesus Kristus, Bunda Maria, para Rasul, dan tokoh-tokoh Alkitab lainnya. Aplikasi yang menggunakan model bahasa canggih (mirip ChatGPT) ini sontak menjadi viral sekaligus menuai badai kontroversi aplikasi.
Para pengembangnya mengklaim ini adalah cara yang inovatif bagi umat Kristiani untuk bisa mendalami iman dan berinteraksi dengan kitab suci. Namun, bagi pemimpin gereja dan umat, ide untuk “menciptakan” kembali sosok suci dalam bentuk chatbot adalah sebuah tindakan yang problematik. Bahkan dianggap mendekati penistaan agama. Fenomena ini membuka sebuah “kotak pandora” tentang peran dan batasan AI di ranah yang paling sakral: keyakinan.
Bagaimana Cara Kerja Aplikasi ‘Text with Jesus’?
Aplikasi ini pada dasarnya adalah sebuah chatbot yang sangat terspesialisasi. Model AI di belakangnya telah “diberi makan” dan dilatih secara ekstensif menggunakan berbagai versi Alkitab dan teks-teks teologis. Tujuannya adalah agar “Yesus AI” ini bisa memberikan jawaban dan nasihat yang selaras dengan ajaran dan persona Yesus seperti yang digambarkan dalam kitab suci.
Pengguna bisa mengetik pertanyaan apa pun, mulai dari pertanyaan teologis yang mendalam (“Apa makna dari perumpamaan penabur benih?”) hingga pertanyaan personal sehari-hari (“Yesus, saya sedang merasa cemas dengan pekerjaan saya, apa yang harus saya lakukan?”). AI tersebut kemudian akan memberikan jawaban dalam gaya bahasa yang menenangkan dan penuh dengan kutipan ayat-ayat Alkitab.
Argumen Pendukung: Sebuah Alat Bantu Iman di Era Digital
Para pembuat aplikasi dan sebagian penggunanya yang mendukung melihat chatbot ini sebagai sebuah alat bantu yang positif.
- Menjangkau Generasi Muda: Mereka berargumen bahwa ini adalah cara yang relevan untuk membuat generasi muda yang melek digital menjadi lebih tertarik untuk mempelajari Alkitab.
- Aksesibilitas: Ini memberikan “teman bicara” spiritual yang tersedia 24/7 bagi mereka yang mungkin merasa kesepian atau tidak memiliki komunitas gereja yang suportif.
- Simulasi Pembelajaran: Dianggap sebagai cara interaktif untuk mengeksplorasi berbagai skenario dan mendapatkan perspektif “Kristiani” terhadap sebuah masalah.
Kritik Keras: ‘Yesus Palsu’ yang Berpotensi Menyesatkan
Namun, kritik yang datang jauh lebih keras dan fundamental.
- Tuduhan Penistaan Agama (Blasphemy): Bagi banyak umat Kristiani, ide untuk menyamakan sebuah program komputer dengan Yesus Kristus, yang mereka yakini sebagai Putra Allah, adalah sebuah tindakan penistaan. Mereka berpendapat bahwa AI tidak akan pernah bisa mereplikasi kebijaksanaan, kasih, dan keilahian Yesus yang sesungguhnya.
- Risiko Teologi yang Sesat: AI, secanggih apa pun, tetaplah sebuah mesin pencocok pola. Ia tidak memiliki pemahaman atau keyakinan teologis. Ada risiko besar bahwa chatbot ini bisa memberikan jawaban yang salah, keluar dari konteks, atau bahkan menghasilkan “ajaran” baru yang menyimpang dari doktrin gereja yang sudah mapan.
- Komersialisasi Iman: Aplikasi ini beroperasi dengan model berlangganan untuk bisa mengakses semua fiturnya. Hal ini menuai kritik bahwa para pengembangnya sedang “menjual” akses kepada Yesus, sebuah praktik komersialisasi iman yang dianggap tidak etis.
Tantangan Teknologi dan Batasan AI
Di luar perdebatan teologis, kontroversi aplikasi ini juga menyoroti batasan teknologi AI itu sendiri. Chatbot ini terkadang memberikan jawaban yang “keluar dari karakter” atau aneh, karena ia pada dasarnya hanya merangkai kata berdasarkan probabilitas statistik dari data yang telah ia pelajari, tanpa pemahaman makna yang sesungguhnya.
Dunia digital memang penuh dengan inovasi yang terkadang melampaui batas. Di saat AI digunakan untuk menciptakan “Yesus digital”, di sisi lain, teknologi digital seperti e-commerce justru telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ekonomi modern, seperti yang terlihat pada daftar marketplace paling banyak diakses di Indonesia.
Untuk mengikuti perdebatan yang lebih mendalam mengenai persimpangan antara teknologi, etika, dan masyarakat, sumber-sumber kredibel seperti MIT Technology Review adalah rujukan utama.
Kontroversi Aplikasi: Pertanyaan Mendasar tentang Iman dan Teknologi
Pada akhirnya, kontroversi aplikasi “Text with Jesus” ini memaksa kita untuk bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar. Di mana seharusnya kita menarik garis batas bagi intervensi teknologi dalam kehidupan spiritual kita? Bisakah sebuah algoritma menjadi pemandu moral? Aplikasi ini hanyalah sebuah eksperimen awal, tetapi telah membuka sebuah diskusi penting yang akan menjadi semakin relevan di masa depan. Di era di mana AI semakin mampu meniru perilaku manusia dengan sempurna, tantangan terbesar kita bukanlah pada seberapa canggih teknologinya, melainkan pada seberapa bijak kita dalam menggunakannya, terutama saat menyentuh hal-hal yang paling kita anggap suci.