Home > Berita Viral > Pendaftaran Pengguna Starlink di Indonesia Ditutup, Ada Apa?

Pendaftaran Pengguna Starlink di Indonesia Ditutup, Ada Apa?

///
Comments are Off

Starlink Stop Terima Pengguna Baru di Indonesia, Ini Alasannya

Euforia yang sempat melanda saat layanan internet satelit revolusioner dari Elon Musk ini resmi masuk ke Indonesia kini berganti dengan sebuah tanda tanya besar. Sejak pertengahan tahun 2025, banyak calon pelanggan yang kecewa saat mengunjungi situs web Starlink. Tombol “Pesan Sekarang” yang tadinya terpampang jelas, kini berganti dengan notifikasi “Layanan Sudah Mencapai Kapasitas di Wilayah Anda” atau hanya opsi untuk masuk ke dalam daftar tunggu (waitlist) tanpa kepastian. Benar sekali, pendaftaran untuk pengguna Starlink di Indonesia yang baru secara efektif telah dihentikan untuk sementara waktu.

Keputusan untuk mengerem ekspansi di salah satu pasar internet paling potensial di dunia ini sontak menimbulkan gelombang spekulasi. Mengapa sebuah layanan yang baru seumur jagung di tanah air dan digadang-gadang sebagai solusi konektivitas bagi daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) justru menutup pintunya? Apakah ini hanya masalah teknis sementara, atau ada isu strategis yang lebih dalam di baliknya? Mari kita bedah beberapa alasan paling masuk akal di balik langkah mengejutkan dari perusahaan antariksa ini.

 

Kabar Mengejutkan dari Bintang Elon Musk: Pendaftaran Pengguna Starlink di Indonesia Ditutup

Penghentian pendaftaran baru ini tidak diumumkan melalui sebuah konferensi pers besar. Sebaliknya, Starlink melakukannya dengan senyap. Para calon pengguna yang ingin mendaftar di berbagai wilayah di Indonesia kini disambut dengan pesan bahwa kuota di area mereka sudah penuh. Kabar ini dengan cepat menyebar di forum-forum online dan media sosial, memicu kekecewaan besar, terutama dari mereka yang tinggal di wilayah pedesaan atau terpencil yang selama ini melihat Starlink sebagai satu-satunya harapan untuk mendapatkan akses internet yang layak.

Bagi mereka, Starlink bukan sekadar layanan internet biasa; ia adalah sebuah janji akan kesetaraan digital. Janji untuk bisa melakukan sekolah online, bekerja dari rumah, atau sekadar melakukan panggilan video dengan keluarga tanpa terputus-putus. Penutupan pendaftaran ini seolah menunda mimpi tersebut, membuat banyak orang bertanya-tanya tentang komitmen jangka panjang Starlink di Indonesia.

 

Alasan #1: ‘Langit’ yang Penuh Sesak – Masalah Kapasitas Satelit

Alasan paling logis dan paling teknis di balik keputusan ini adalah keterbatasan kapasitas. Bayangkan setiap satelit Starlink yang melintas di atas Indonesia adalah sebuah menara BTS super canggih di langit. Sama seperti menara BTS di darat, satu satelit hanya memiliki kapasitas bandwidth yang terbatas untuk melayani sejumlah pengguna secara bersamaan di area yang dicakupnya (disebut “sel”).

Jika terlalu banyak pengguna aktif dalam satu sel pada waktu yang sama, maka “kue” bandwidth yang ada harus dibagi-bagi ke lebih banyak orang. Akibatnya? Kecepatan internet untuk semua pengguna di area tersebut akan menurun drastis. Alih-alih mendapatkan kecepatan 100-200 Mbps yang dijanjikan, pengguna mungkin hanya akan mendapatkan 10-20 Mbps, sebuah pengalaman yang tentu akan sangat mengecewakan. Dengan menghentikan sementara pendaftaran baru, Starlink kemungkinan besar sedang mengambil langkah strategis untuk menjaga kualitas layanan bagi para pelanggan yang sudah ada. Mereka tidak ingin layanannya dicap “lemot” karena terlalu banyak pengguna. Solusinya adalah menunggu lebih banyak lagi satelit dari ribuan yang mereka luncurkan setiap tahun untuk ditempatkan di orbit yang melayani Indonesia.

 

Alasan #2: Jalan Berliku Regulasi dan Persaingan Lokal

Selain masalah teknis, faktor bisnis dan regulasi juga bisa memainkan peran penting. Beroperasi di Indonesia berarti Starlink harus mematuhi serangkaian peraturan telekomunikasi yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Kominfo. Ini mencakup perizinan Network Access Point (NAP), kewajiban membangun gateway di dalam negeri, hingga isu-isu terkait perpajakan dan kedaulatan data. Ada kemungkinan masih ada beberapa aspek regulasi yang sedang dalam proses penyesuaian antara Starlink dan pemerintah, yang membuat mereka memilih untuk tidak menambah pengguna baru terlebih dahulu.

Dari sisi bisnis, Starlink mungkin juga sedang melakukan re-evaluasi strategi pasar mereka. Dengan harga perangkat keras awal yang cukup mahal (jutaan rupiah) dan biaya langganan bulanan yang premium, pasar ritel (B2C) di Indonesia mungkin tidak sebesar yang diperkirakan, terutama di area yang sudah terjangkau oleh jaringan fiber optik atau 5G yang lebih murah. Ada kemungkinan Starlink akan lebih memfokuskan strateginya untuk melayani pasar korporat (B2B)—seperti perusahaan tambang, perkebunan, atau maritim—dan proyek-proyek pemerintah, yang menawarkan kontrak jangka panjang yang lebih stabil dan menguntungkan.

 

Dampak bagi Calon Pengguna dan Masa Depan Internet Satelit

Keputusan Starlink ini tentu berdampak langsung pada masyarakat. Kekecewaan terbesar dirasakan oleh mereka yang berada di “zona abu-abu” digital—daerah yang tidak terlalu terpencil untuk menjadi target program internet pemerintah, namun juga tidak cukup komersial untuk dijangkau oleh provider fiber optik. Bagi mereka, Starlink adalah harapan satu-satunya. Keputusan Starlink ini menjadi pengingat betapa krusialnya akses internet di era modern, dan betapa rentannya konektivitas kita. Di level ekstrem, kita bisa melihat bagaimana sebuah negara bisa lumpuh, seperti pada kasus gangguan internet parah di Korea Utara, yang menunjukkan ketergantungan kita pada infrastruktur digital.

Langkah ini juga membuka peluang bagi para pesaing. Provider internet lokal mungkin akan melihat ini sebagai kesempatan untuk mempercepat ekspansi jaringan mereka ke area-area yang tadinya akan “diserahkan” kepada Starlink. Di sisi lain, pemain internet satelit global lainnya mungkin akan melihat ini sebagai celah untuk masuk ke pasar Indonesia. Dinamika persaingan antara Starlink dan provider telekomunikasi lokal ini menjadi topik yang menarik untuk diikuti. Media teknologi seperti DetikINET (https://inet.detik.com/telecommunication) secara rutin memberikan laporan dan analisis mengenai perang tarif, ekspansi jaringan, dan kebijakan pemerintah di sektor telekomunikasi ini.

 

Jeda Strategis atau Sinyal Masalah?

Jadi, apa kesimpulan dari penghentian pendaftaran pengguna Starlink di Indonesia ini? Kemungkinan besar, ini adalah sebuah jeda strategis, bukan sebuah tanda bahwa Starlink akan hengkang. Kombinasi antara keinginan untuk menjaga kualitas layanan dengan mengelola kapasitas satelit yang ada dan mungkin sambil melakukan penyesuaian strategi bisnis dan regulasi adalah alasan yang paling masuk akal. Ini adalah langkah yang lebih bijak daripada terus menerima pelanggan baru namun berakhir dengan layanan yang mengecewakan dan merusak citra merek mereka dalam jangka panjang. Bagi para calon pengguna, kini yang bisa dilakukan hanyalah bersabar dan menunggu. Apakah jeda ini akan berbuah manis dengan layanan yang lebih baik dan jangkauan yang lebih luas di masa depan, atau ini adalah sinyal adanya tantangan yang lebih besar dalam operasional mereka di Indonesia? Hanya waktu dan ribuan satelit baru di langit yang akan menjawabnya.

You may also like
Google Siapkan Pengganti Android, Ini Visi di Baliknya
Ingin Gampang Cepat Dapat Kerja? Coba 7 Tools AI Terbaik Ini!
Waspadai Potensi Bencana Hidrometeorologi di Musim Kemarau
Bumi Berotasi Lebih Cepat, Ini 3 Pemicu Utamanya Kata Pakar